MENGENAL KEBUDAYAAN SUMBAWA
IDENTIFIKASI
Suku Sumbawa atau tau
Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan
Sumbawa, wilayahnya seluas 8.493 km2 yang berarti lebih dari
setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2,
sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima.
Sebagian besar wilayahnya
terdiri atas perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi 1.730 meter
berada di Gunung Batu Lanteh. Gunung ini berdiri tegak di antara lima
pegunungan lainnya yang berada di bagian tengah dan selatan pulau. Mengarah ke
gunung ini terdapat sebuah sungai terbesar bernama Brang Beh yang juga mengalir
menuju Teluk Lampui dan menuju daerah-daerah di sekitar pegunungan lainnya,
kemudian bertemu dengan anak-anak sungai lainnya yang lebih kecil.
Populasi tau Samawa
tersebar di dua daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa
Barat yang wilayahnya mulai dari Kecamatan Empang di ujung timur hingga
Kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau,
termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Batas teritorial kedua daerah kabupaten
ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan
Samudera Indonesia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Jumlah populasi suku Sumbawa sekarang
diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa.
Populasi Suku Sumbawa
yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik
pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu
beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para
pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik
yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815. Para
pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi
(Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan
(Banjarmasin), dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami
dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini, sedangkan sebagian penduduk yang
mengklaim diri sebagai pribumi atau tau Samawa asli menempati wilayah
pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan
dataran rendah yang dulunya menjadi daerah pemukiman mereka tidak dapat
ditempati lagi pasca bencana alam Tambora yang menewaskan hampir dua pertiga
penduduk Sumbawa kala itu.
Sumbawa merupakan daerah
beriklim tropis, pengaruh iklim dari Benua Australia pada bulan-bulan tertentu
sangat terasa dengan temperatur berkisar antara 19,20C–34,20C,
kelembaban maksimum 89% dan minimum 71% dengan tekanan udara rata-rata 1.008,2
mb sampai 1.013,4 mb. Arah mata angin terbanyak adalah 300 dengan kecepatan
tertinggi 13 knot per detik yang terjadi pada bulan Agustus, Oktober, dan
November. Curah hujan rata-rata 1.476 mm setahun dengan jumlah hari hujan
sebanyak 75 hari. Hujan mulai turun di Sumbawa pada bulan November sampai
dengan Maret, setelah itu berganti musim kemarau di bulan April yang biasanya
diawali dengan udara dingin dalam beberapa minggu.
Sebagian besar wilayah
Sumbawa kaya akan hasil-hasil tambang, selain juga potensi perikanan,
perkebunan, dan pertanian tanaman pangan. Potensi lain berupa hasil-hasil hutan
dan peternakan. Beberapa produk andalan yang telah menjadi maskot bagi Sumbawa
adalah madu lebah, mutiara, dan kekayaan flora-fauna berupa kayu gaharu, kuda,
dan rusa yang mulai terancam punah akibat perburuan liar.
BAHASA, TULISAN, DAN
KESASTRAAN
Suku Sumbawa adalah
campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok
etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa,
sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan
dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa
persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini.
Mahsun (2002) dalam
Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa
Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang
ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek
Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawabesar atau cikal bakalnya disebut
dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga
memasuki fase historis, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi
tiga dialek yang berdiri sendiri.
Dalam bahasa Sumbawa saat
ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah
penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan
dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar,
Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk,
selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.
Dalam dialek-dialek
regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai
oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri
atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh
penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek
Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang
merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa
yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok
masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung mempengaruhi kelompok
masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan
menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek
Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan
raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua
kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek
Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam
bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah
diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang
berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut disebut basa
Samawa.
Sebagai bahasa yang
dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka basa Samawa
tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas
Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar
kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai
sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan
ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata
serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali,
Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan
Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab,
bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata
asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa
kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang
relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
Membahas tentang karya
sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara Kaganga atau Setera
Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang jontal
berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron
tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih
jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik
atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai
dalam penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun
lontar ini dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan
berasal dari kata pengot dalam bahasa Jawa.
Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang
mulai diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara
yang diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang
di Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara
Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia
semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara Lontara
ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan Goa-Makassar bernama
Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.
Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya
masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini
setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal
dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara
Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan
cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara
dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.
Para sastrawan Sumbawa
dulu mengabadikan karya-karyanya dengan menulisakannnya di daun lontar yang
telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan
panjang 12 cm, cara menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut
menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan-tulisan ini
kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk.
Karya sastra sebagai
sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi kehidupan
yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga dituntut
untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di sekelilingnya,
harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk membangun kembali
realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya
dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta
berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga sebagai
pencipta karya-karya sastra tersebut.
Dengan menyimak
hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa konsep dasar
tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana masyarakat Sumbawa
memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian merumuskannya ke dalam
konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka.
Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang
bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya
adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa),
panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan
pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.
Pada umumnya karya-karya
sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat,
maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan
cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya
melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang
rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau
induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari,
maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti
tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo
dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan
barodak.
SISTEM KEPERCAYAAN
Bukti-bukti arkeologis
yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara,
dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki
kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang
mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan
antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga
masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama
Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar
dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini.
Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek
(Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan
(Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan),
Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.
Menurut Zolinger, agama
Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun
1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya
Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan
kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang
merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh
para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan
Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk
menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir
penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa
Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga
menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh
kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan
syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak
berazazkan kitabullah.
Mayoritas tau Samawa
saat ini memeluk agama Islam, bahkan sangat mengherankan bila ada orang yang
mengaku tau Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukkan
Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung
dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan,
bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin
dalam lawas:
Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam)
Pang akhirat pang tu matak (di akhirat tempat menuai)
Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya)
Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh)
Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah)
Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)
Semenjak munculnya
pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal
unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan
rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang
telah turun-temurun menjadi tau Samawa ini. Oleh karenanya,
ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? No soka ungkap bilik ke?
Tempu tama dengan nya ke? menunjukkan betapa penting arti Islam bagi tau
Samawa.
Tau Samawa begitu fanatis terhadap agama Islam yang
diyakininya, bahkan nampaknya begitu sensitif dan mudah digelorakan untuk
berjihad demi membela kepentingan agamanya, serta kelihatan antipati dan
menolak terhadap bentuk-bentuk keyakinan agama lain selain Islam, akan
tetapi dalam praktiknya banyak kita jumpai tau Samawa yang menjalankan
hidupnya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Mereka tidak menjalankan
sholat lima waktu dan membayar zakat, bahkan mereka masih percaya pada
makhluk-makhluk halus yang sering mendatangkan musibah berupa bencana dan
penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus
yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono
atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari,
dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar
makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.
Untuk menangkal gangguan
makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing,
lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian tau Samawa sering
memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat
pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain
kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki
kemampuan meramal nasib, tau Samawa juga mempercayai suara cecak dapat
membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya,
bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta
berarti pertanda sial baginya. Meski demikian kenyataannya, akan tetapi
siapapun berani menyinggung harga diri Islam berarti berani menumpahkan darah
dan akan dihadapi sebagai perang jihad oleh tau Samawa. Proses dahwah
Islamisasi sampai sekarang terus berlangsung pada tau Samawa untuk
menyesuaikan sistem kepercayaan masyarakat dengan Al-Quran dan Hadist Nabi
Muhammad SAW.
SISTEM KEKERABATAN DAN
PERKAWINAN
Sistem kekerabatan dan
keturunan tau Samawa pada umumnya bilateral, yaitu sistem penarikan
garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan
secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun
pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misal eaq
untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda
dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu
kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang
sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu,
sepupu dua sampai sepupu enam.
Pada kehidupan masyarakat
Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah
panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya berkisar
antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk
seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotong-potong
(kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang
dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11
bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan
perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur
rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai
menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan,
dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai kekerabatan yang begitu kuat
seperti tercermin dalam lawas:
Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa)
Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau)
Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati)
Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu)
Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja)
Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap)
Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda)
Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke
tanah)
Mate bakolar ke lolo (mau hancur bersama sanak kerabat)
Tata cara perkawinan
dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mengadopsi
prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan
(bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari
menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini
mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan
dalam tradisi Jawa.
Sebagian masyarakat
Sumbawa percaya apabila upacara barodak ini tidak dilaksanakan akan
muncul musibah bagi pengantin maupun keluarganya dalam bentuk munculnya penyakit
rabuyak, seperti benjol-benjol di kepala disertai gatal-gatal, kesurupan,
keluar darah dari mata bila menangis, tiba-tiba tulang rusuk keluar bebepa
centimeter, dan berbagai jenis penyakit aneh lainnya yang disebabkan melanggar
upacara daur kehidupan. Selanjutnya pada sebagian masyarakat Sumbawa yang mempercayai
pandangan ini, sandro berperan dalam menentukan hari baik, menemukan
jenis benda yang digunakan untuk proses penyembuhan penyakit rabuya,
serta melakukan pengobatan dan membangun komunikasi secara gaib dengan leluhur
si sakit. Akan tetapi, kepercayaan ini mulai nampak memudar seiring pemahaman
mereka pada bidang kesehatan dan bergesernya pola berpikir yang menganggap
tidak masuk akal menghubungkan antara munculnya berbagai jenis penyakit
tertentu ini dengan bentuk upacara adat daur kehidupan, selain juga dianggap
oleh sebagian masyarakat bentuk kepercayaan demikian ini sangat tidak Islami.
Satu hal manarik dalam
sistem perkawinan tau Samawa yang dianggap ideal adalah perkawinan
antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas:
Balong tau no mu gegan
(secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap)
Lenge sempu no gantuna
(sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya)
Denganmu barema ngining
(bersamamu mengarungi suka dan duka)
Lawas ini berisi nasihat
orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan
seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya dan bukan berasal dari sanak
kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi
memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam
mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat
perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari
kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo
dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap
kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri.
Dalam perkawinan adat
Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa
atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah
sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman
mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan.
Delik perkawinan lain
yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang
karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis
pujaanya. Merarik bisa berakibat ngirang bagi keluarga anak gadis
yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk
dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah,
ketersinggungan harga diri pihak korban.
Bagi anak lelaki yang
melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat
atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat
meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh
pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.
SISTEM MATA
PENCAHARIAN
Sumber penghidupan yang
utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan
menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala,
dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan
seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh
orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa.
Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada
sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat
modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan
pertanian.
Untuk menggarap ladangnya
atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan
membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami
beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari para petani ini
meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya beberapa kali saja
dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan pemeliharaan.
Cara mendapatkan
lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan
untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu
dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus,
dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi
sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk
menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah
dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng,
artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada
pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya,
konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang
(berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di
mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis
tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan
berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di
mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak
tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.
Masyarakat Sumbawa yang
tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil
penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan
dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan
hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng
rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan
atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.
Menjadi nelayan merupakan
pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing,
kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan
untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa
jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut.
Pekerjaan yang tak kalah
pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear
atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau
jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya
merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang
tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu
hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak
atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah,
jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional.
Masyarakat di luar
kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan
kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini dipelihara
dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa tidak
menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di
padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman
pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha
memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas
lahannya.
Pekerjaan menjadi
pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi segelintir orang Sumbawa yang pada
awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan
sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat
barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat
atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan
orang.
Pekerjaan yang paling
membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau
karyawan tambang. Pengaruh kebudayaan Hindu secara makro pada tau Samawa
yang telah memeluk Islam juga nampak dari sikap dan perilakunya yang begitu
kuat berorientasi pada status sosial, dan bukan berorientasi pada etos kerja.
Oleh karenanya, penghargaan terhadap pekerjaan seseorang cenderung dilihat dari
penampilan luar dan materi yang dimilikinya.
Kuatnya orientasi pada
status sosial ini ditunjukkan dengan rasa malu yang berlebihan atau berpantang
untuk memakai baju robek di luar rumah, bekerja menjadi buruh kasar, gagal
pergi haji, mengurus pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan, bahkan tau
Samawa sangat bangga terhadap kediriannya karena tidak ada yang memakai baju
compang-camping di jalanan dan menjadi pengemis, serta perasaan tidak enak bila
dikatakan miskin menjadikan tau Samawa berusaha menutup-nutupi keadaan
dirinya yang sesungguhnya dengan ungkapan kangila rara kagampang bola
atau kangila rara kagampang sugih yang maknanya merasa malu bila
dikatakan miskin, lebih baik berlaku menutup-nutupi dengan berpura-pura kaya.
Berkaitan dengan orientasi status ini dalam kondisi tertentu tau Samawa
juga gemar meremehkan orang lain dengan ungkapan apa nya (apa dia), dan
cenderung kurang apresiatif terhadap keberhasilan dan prestasi kerja yang
dicapai seseorang meskipun prestasi itu diraih dengan etos kerja yang tinggi.
SISTEM PEMERINTAHAN
Karakteristik yang
menonjol dari tau Samawa umunya adalah gemar berbicara dan mengurus
soal-soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu kebatinan, kepercayaan
yang begitu kuat pada sandro atau dukun, kurang senang berpikir hal-hal
yang kecil dan detail, dan sejarah masa lalunya yang selalu menempatkan dalam
pergolakan, baik masa pra-Hindu, Hindu-Budha, dan terakhir masa Islam telah
mengkondisikan tau Samawa rata-rata bertemperamen keras dan mudah naik
darah, terutama mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat,
khususnya Taliwang yang dahulu pernah menjadi pusat pengaruh Kerajaan Majapahit
di Pulau Sumbawa.
Suku Sumbawa yang
mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi
wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian
ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran,
sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap
semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula
di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawabesar akibat ancaman pencaplokkan
Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes,
dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah
Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawabesar.
Sistem pemerintahan afdeeling
kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa
daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan
kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict
digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat ini.
Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict
yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan
sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa.
Pada masa pemerintahan
orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang
dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal
dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu
oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan
juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung
antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa.
Pola perkampungannya
berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan
yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan
dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam
pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala
keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok
yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang,
demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi,
sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar
siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di
daerah pedesaan.
Sekarang organisasi
kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan
yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa
dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun
warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di
tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar
digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).
Sumbawa sangat kental
dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada
setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum,
ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan
sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga
golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu,
kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat
biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini
telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III
tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.
Tags: budaya samawa
Pendapat lain:
Dalam kebudayaan Sumbawa,
sebagaimana halnya kebudayaan lain di dunia
ini, telah terjadi pergeseran nilai-nilai, sehingga dewasa ini sering
muncul anggapan bahwa Tau Samawa malas, tidak bisa mengikuti
perkembangan jaman, terlalu iri terhadap kamajuan sesamanya dan
banyak lagi penilaian miring.
Pergeseran nilai itu, menurut Haji Dinullah Rayes ketika berbicara di
depan sekitar 25 orang peserta pelatihan bagi Pelopor Pembangunan
Pedesaan yang berlangsung di sanggar kegiatan belajar (SKB) Sumbawa,
karena dipengaruhi kemajuan tekhnologi dan era globalisasi yang
melingkupi semua aspek kehidupan manusia.
Budayawan ini mencontohkan, fakta di masyarakat bahwa gadis-gadis
sekarang sudah mulai gengsi ke sawah untuk 'nanam' (sebagai
tenaga/buruh, red) adalah akibat dari menjamurnya pengiriman wanita
keluar negeri sebagai TKW yang nota bene dapat menghasilkan uang
lebih banyak daripada mereka yang hanya turun ke sawah untuk
mendapatkan upah sebagai penanam. "Tetapi tidak bisa disimpulkan
bahwa malas itu budaya kita," tegas penyair yang dalam waktu dekat
akan terbang ke Jakarta untuk menerima KSI Award (Komonitas Sastra
Indonesia, red) ini.
Berkaitan dengan pelatihan tersebut, Dinullah Rayes mengungkapkan
bahwa "kebudayaan" tidak boleh diartikan terlalu sempit. Menurutnya,
kebudayaan secara umum adalah hasil berfikir manusia yang melingkupi
seluruh aspek kehidupan manusia dalam satu kurun waktu tertentu.
Dan bila dijabarkan, didalamnya termuat aspek (1) ilmu pengetahuan
dan tekhnologi , (2) mata pencaharian, (3) sosial kemasyarakatan, (4)
kesenian, (5) bahasa, dan (6) religius/agama. Dengan demikian, masih
kata dia, Tau Samawa yang ingin maju harus memiliki semua aspek
tersebut diatas. "Harus memiliki lahan untuk menghidupi keluarganya,
menjalin silaturrahmi, menjaga kelestarian bahasa daerahnya dan
mengembangkan kesenian, serta taat kepada ajaran Islam, yang
merupakan sendi dari budaya kita," ujarnya menggambarkan bagaimana
Tau Samawa itu seharusnya.
Pengaruh Basa Samawa dalam mebentuk jati diri kita, jelasnya, sangat
terasa, sebab bahasa Sumbawa yang dipergunakan generasi sebelum kita
sarat dengan makna filosofis yang menjadi etos kerja Tau
Samawa. "Tapi karena sekarang anak-anak tidak lagi menguasai Basa
Samawa yang seperti sedia kala, maka semangat filosofinya pun
lenyap."
Tampil memberikan materi dalam sesi mengenal kebudayaan daerah
Sumbawa, penyair 'otodidak' ini mengungkapkan beberapa lawas,
seperti: kangila bowat lenge, katakit lako nene (malu melakukan
perbuatan jelek dan hina, takut kepada Allah SWT), mu ate angan
bowatmu, lema mudadi manusia (tekuni pekerjaanmu, agar menjadi
manusia berguna), lamin musate retas pusuk //musamengas puin
dunung//lema nyaman muturin ntek (bila niat memetik pucuk, hendaknya
pokok dirintis dulu//agar kaki bebas melaju).
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana, Agus Hadimulyo, kepada Jaring
Sumbawa Ekspres mengutarakan, pelatihan yang digelarnya kali ini
untuk mensosialisasikan semangat kerja masyarakat Korea dalam
menapaki pembangunan bangsanya.
"Mereka punya semangat Saemaul Undong yang melandasi seluruh
masyarakat Korea," katanya seraya menjelaskan, Saemaul Undong secara
harliah berarti gerakan desa baru. Mengisahkan pengalamannya selama 4
minggu di negeri Korea, dalam rangka mengikuti studi banding yang
dilaksanakan oleh Korea International Agency (KOICA), Agus mengaku
kaget ketika melihat budidaya tonyong (nagaro satagas ke basa
Indonesia gina) di areal persawahan, sementara di Sumbawa, tumbuhan
rawa tersebut justru dibasmi karena mengganggu tanaman.
"Di sana (Korea, red) hanya beberapa sawah, tetapi di kita satu
danau," katanya. "Dan ini akan menghasilkan duit kalau
dibudidayakan," lanjutnya.
Lebih jauh, Agus menjelaskan, Aemaul Undong bervisi tiga landasan
pokok; (1) kerja keras, (2) mandiri, dan (3) kebersamaan. "Prinsip
ini dicetuskan Presiden Park Chung Hee untuk membangun desa-desa
sebagai kekuatan ekonomi," jelasnya.
Tentang peserta pelatihan, menurut Agus, yang juga sebagai
koordinator painang SKB Sumbawa ini, pihaknya mengundang tokoh muda
yang diharapkan menjadi pelopor, yang berasal dari Kec. Utan/Rhee (5
orang), Kec. Alas (10 orang), Alas Barat (5 orang), dan Seteluk (5
orang, 3 diantaranya wanita). Pelatihan ini dijadualkan berlangsung
selama 3 hari (5-7 Juni), dan hari terakhir akan diadakan kunjungan
ke Balai Benih Induk (BBI) Palawija Utan.(019)
ini, telah terjadi pergeseran nilai-nilai, sehingga dewasa ini sering
muncul anggapan bahwa Tau Samawa malas, tidak bisa mengikuti
perkembangan jaman, terlalu iri terhadap kamajuan sesamanya dan
banyak lagi penilaian miring.
Pergeseran nilai itu, menurut Haji Dinullah Rayes ketika berbicara di
depan sekitar 25 orang peserta pelatihan bagi Pelopor Pembangunan
Pedesaan yang berlangsung di sanggar kegiatan belajar (SKB) Sumbawa,
karena dipengaruhi kemajuan tekhnologi dan era globalisasi yang
melingkupi semua aspek kehidupan manusia.
Budayawan ini mencontohkan, fakta di masyarakat bahwa gadis-gadis
sekarang sudah mulai gengsi ke sawah untuk 'nanam' (sebagai
tenaga/buruh, red) adalah akibat dari menjamurnya pengiriman wanita
keluar negeri sebagai TKW yang nota bene dapat menghasilkan uang
lebih banyak daripada mereka yang hanya turun ke sawah untuk
mendapatkan upah sebagai penanam. "Tetapi tidak bisa disimpulkan
bahwa malas itu budaya kita," tegas penyair yang dalam waktu dekat
akan terbang ke Jakarta untuk menerima KSI Award (Komonitas Sastra
Indonesia, red) ini.
Berkaitan dengan pelatihan tersebut, Dinullah Rayes mengungkapkan
bahwa "kebudayaan" tidak boleh diartikan terlalu sempit. Menurutnya,
kebudayaan secara umum adalah hasil berfikir manusia yang melingkupi
seluruh aspek kehidupan manusia dalam satu kurun waktu tertentu.
Dan bila dijabarkan, didalamnya termuat aspek (1) ilmu pengetahuan
dan tekhnologi , (2) mata pencaharian, (3) sosial kemasyarakatan, (4)
kesenian, (5) bahasa, dan (6) religius/agama. Dengan demikian, masih
kata dia, Tau Samawa yang ingin maju harus memiliki semua aspek
tersebut diatas. "Harus memiliki lahan untuk menghidupi keluarganya,
menjalin silaturrahmi, menjaga kelestarian bahasa daerahnya dan
mengembangkan kesenian, serta taat kepada ajaran Islam, yang
merupakan sendi dari budaya kita," ujarnya menggambarkan bagaimana
Tau Samawa itu seharusnya.
Pengaruh Basa Samawa dalam mebentuk jati diri kita, jelasnya, sangat
terasa, sebab bahasa Sumbawa yang dipergunakan generasi sebelum kita
sarat dengan makna filosofis yang menjadi etos kerja Tau
Samawa. "Tapi karena sekarang anak-anak tidak lagi menguasai Basa
Samawa yang seperti sedia kala, maka semangat filosofinya pun
lenyap."
Tampil memberikan materi dalam sesi mengenal kebudayaan daerah
Sumbawa, penyair 'otodidak' ini mengungkapkan beberapa lawas,
seperti: kangila bowat lenge, katakit lako nene (malu melakukan
perbuatan jelek dan hina, takut kepada Allah SWT), mu ate angan
bowatmu, lema mudadi manusia (tekuni pekerjaanmu, agar menjadi
manusia berguna), lamin musate retas pusuk //musamengas puin
dunung//lema nyaman muturin ntek (bila niat memetik pucuk, hendaknya
pokok dirintis dulu//agar kaki bebas melaju).
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana, Agus Hadimulyo, kepada Jaring
Sumbawa Ekspres mengutarakan, pelatihan yang digelarnya kali ini
untuk mensosialisasikan semangat kerja masyarakat Korea dalam
menapaki pembangunan bangsanya.
"Mereka punya semangat Saemaul Undong yang melandasi seluruh
masyarakat Korea," katanya seraya menjelaskan, Saemaul Undong secara
harliah berarti gerakan desa baru. Mengisahkan pengalamannya selama 4
minggu di negeri Korea, dalam rangka mengikuti studi banding yang
dilaksanakan oleh Korea International Agency (KOICA), Agus mengaku
kaget ketika melihat budidaya tonyong (nagaro satagas ke basa
Indonesia gina) di areal persawahan, sementara di Sumbawa, tumbuhan
rawa tersebut justru dibasmi karena mengganggu tanaman.
"Di sana (Korea, red) hanya beberapa sawah, tetapi di kita satu
danau," katanya. "Dan ini akan menghasilkan duit kalau
dibudidayakan," lanjutnya.
Lebih jauh, Agus menjelaskan, Aemaul Undong bervisi tiga landasan
pokok; (1) kerja keras, (2) mandiri, dan (3) kebersamaan. "Prinsip
ini dicetuskan Presiden Park Chung Hee untuk membangun desa-desa
sebagai kekuatan ekonomi," jelasnya.
Tentang peserta pelatihan, menurut Agus, yang juga sebagai
koordinator painang SKB Sumbawa ini, pihaknya mengundang tokoh muda
yang diharapkan menjadi pelopor, yang berasal dari Kec. Utan/Rhee (5
orang), Kec. Alas (10 orang), Alas Barat (5 orang), dan Seteluk (5
orang, 3 diantaranya wanita). Pelatihan ini dijadualkan berlangsung
selama 3 hari (5-7 Juni), dan hari terakhir akan diadakan kunjungan
ke Balai Benih Induk (BBI) Palawija Utan.(019)
MUSEUM DALAM LOKA SUMBAWA
MuseumDi museum ini
ribuan mata hati
menatap parade nurani sendiri.
Arsip dan dokumen prilaku para leluhur
suara dan bisik sendunya masih bisa terdengar
masih bisa terpandang wajah keriputnya
dalam kasat mata.
Di museum ini
tempat orang-orang tercinta
meramu kebenaran sejarah
memungut ilmu dan jati diri kita
yang lepas tercecer dalam perjalanan hidup
yang senantiasa mencari dalam pencarian
Kita pun rindu Maha Ada pesona baqa
H.Dinullah Rayes
MUSEUM DALAM LOKA SUMBAWA
I.Sejarah Singkat
Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat adalah bekas wilayah kesultanan Sumbawa yang diperintah oleh Sultan Muhamad Kaharuddin III (1931-1958) yang merupakan sultan terakhir dari dinasti Amasa (Mas) Bantan Dewa Dalam Bawa. Mengingat Sumbawa yang pernah menjadi wilayah kerajaan tentu saja sangat banyak memiliki dan meninggalkan warisan benda-benda budaya yang patut dilestarikan.
Peninggalan Kesultanan Sumbawa yaitu istana Dalam Loka yang didirikan pada tahun 1885 oleh Sultan Muhamad Jalaluddin III (1883-1931). Pada tanggal 13 Nopember 1975 dibuat pernyataan bersama antara keluarga Sultan Muhamad Kaharudin III (1931-1958) mengenai kesepakatan penyerahan pemugaran istana tua Dalam Loka kepeda pihak pemerintah (Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI). Hak milik atas istana Dalam Loka dan pekarangan tetap menrupakan hak turun temurun dari Sri Sultan M. Kaharuddin III.. Mulai sejak saat itulah biaya pemugaran datang dari APBN dan APBD I Prov. NTB, dan menjadi situs areal temuan benda-benda purbakala.
Pengertian Dalam Loka sendiri berarti, Dalam = istana, rumah-rumah dalam lingkungan istana, Loka = Dunia, tempat. Dalam Loka bermakna istana tempat tinggal raja, katakanlah pusat pemerintahan. Pada tahun 1932 didirika istana baru yaitu Gedug Wisma Praja. Pun menjadi kebanggan rakyat Sumbawa, model istana Dalam Loka menjadi prototype bangunan adat mewakili NTB di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Dari segi pengelolaan, istana Dalam Loka andaisaja menjadi museum maka perlu seorang yang memiliki jiwa pengabdian tulus. Maka, berdasarkan SK No.64 Tahun 1994 tanggal 28 Februari 1994 tentang pengangkatan Pimpinan Teknis Museum Daerah maka sastrawan nasional H.Dinullah Rayes diangkat menjadi Kepala Museum yang bertanggungjawab langsung kepada Bupati Kepala Daerah Tk.II Sumbawa.
II. Konsepsi Bangunan
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.
Arsitektur Dalam Loka sebagai istana memiliki bentuk yang istimewa, tidak sama seperti bangunan-bangunan umum yang berdiri disekitarnya. Bangunan Dalam Loka berukuran luas 696,98 m2 ditopang oleh tiang sebanyak 99 buah, namun sekarang berjumlah 96 buah.
Bilangan 99 seperti jumlah tiang utuk mengingatkan agar Raja dalam menjalankan pemerintahan hendaknya mengadaptasi sifat Tuhan sebanyak 99 jumlahnya. Yaitu, rahman/pengasih, rahim/penyayang dan seterusnya.
Sedangkan tangga yang menjadi pintu masuk ke istana, mengambil bentuk sebuah pendakian yang mengadung konsepsi nilai bahwa siapaun seyogyanya menaruh hormat kepada Raja. Hal ini dinyatan, melalui sikap tubuh yang membungkuk manakala memanjat tangga istana.
III..Koleksi Museum Dalam Loka.
A. Foto kuno para Demung masa pemerintahan Sultan Muhamad Kaharuddin III yaitu :
1. Lalu Manca
2. Lalu Ceang
3. Lalu Abdulwahab
4. Lalu Mala
B. Kitab Suci :
1. Al-Quran tulisan tangan
2. Al-Quran berwajah puisi
C. Dulang Pasaji ( peralatan makan dan minum )
D. Senjata Tradisional Etnik Sumbawa
E. Lesung Batu dan Batu Parujak
F. Peralatan Untuk Menumbuk Padi.
G Peralatan Penangkap Ikan Tradisional.
H.Peralatan Kuda Pacuan
I. Kerajainan Tangan Dari Bambu
J. Peralatan Tenun Tradisional
K. Dapur dan Peralatan Masak.
IV. Keterangan Tambahan
A. Jam Kunjungan
1. Selasa- Kamis : Pukul 08.00-14.00 Wita.
2. Jum’at : Pukul 08.00-11.00 Wita
3. Sabtu – Minggu : Pukul 08.00-14.00 Wita
4. Senin dan Hari Libur Nasional Tutup.
B. Alamat Museum Dalam Loka Sumbawa :
Jalan Dalam Loka No.1 Sumbawa Besar 84331-Nusa Tenggara Barat
Telp. 0371-625747
By : I P. Sugih Arta, SE,MM.
sugihartaputu@gmail.com
3dadi Art Shop
Jalan Pramuka No.18 Mataram , NTB. Telpon 0370-631231. HP. 081803650463.
Flexi : 0370-6583396 ( Kadek Suratni )
Samawa juga merupakan sebuah falsafah kehidupan yang di peredikatkan dan diamanahkan bagi seluruh kesatuan tau dan tana samawa. Falsafah dan cara pandang tentang kehidupan yang seharusnya dijadikan sebagai panduan dan pedoman dalam bekerja bertindak-tanduk dan berperilaku. Karena entitas kesamawaan tidak hanya berupa manusia tau samawa melainkan terlingkup di dalamnya budaya, perilaku dan nafas kesumbawaan, iyak samawa. Secara semiologi atau ilmu tentang falsafah bahasa, atau jika dianalisis makna kata samawa dalam terminologi etimologis Arab, maka Samawa merupakan bentuk mufrod atau kata tunggal dari kata as-samaa’ dan menjadi samawat-samawa dalam bentuk jama’ yang berarti lapisan langit atau 7 lapis langit. Lapisan langit menunjukkan sebuah falsafah kehidupan, dimana di dalamnya terdapat sebuah proses untuk terus menjadi dan menjadi, terdapat fase dan langkah yang hendak dituju, memiliki sebuah cara pandang ke depan untuk menggerakkan diri dan ke-diri-an menuju pada satu maqom atau kedudukan utama, yaitu tujuan kehidupan di langit ke tujuh untuk mencapai keparipurnaan menjadi manusia seutuhnya.
Tidak,,,,, seperti air mengalir, kemana arus bergerak kesitu jua kita berada. karena siratan makna di balik kata samawa sudah menunjukkan sebuah makna dan tujuan kehidupan yang nyata, sudah tersedia peta dan penunjuk arah menuju kepada tujuan kehidupan yang jelas itu. Falsafah Samawa menunjukkan bahwa, secara vertical semua perbuatan hanyalah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan,,, menjadi kajulen adalah maqom yang tertinggi di hadapan kalepe kaji. Sedangkan secara horizontal tugas pengabdian itu adalah dalam bentuk amanah kekhalifahan, menjadi wakil Allah di muka bumi untuk menjaga dan melestarikan kehidupan. Sengaja kami awali tulisan ini dengan kembali berfalsafah merefleksikan tentang diri dan ke-diri-an kita tau samawa.
Karena bagaimanapun kebijakan pembangunan, baik itu pendidikan, pertanian, pariwisata maupun wealt of nation atau kekayaan alam kita lainnya dalam bentuk pertambangan, itu semua tidak akan mengahasilkan apa-apa, walaupun tiap kebijakan 1 perda saja, pemerintah kita hari ini menyediakan 300 juta anggaran. Bahkan ribuan milyarpun anggaran di arahkan pada sektor sektor tersebut semuanya akan menjadi nothing jika masyarakat tau samawa sudah lepas landas dan melupakan identitas ke-samawa-an nya.
Kami sadar sepenuhnya bahwa begitu kompleks permasalahn yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengatur dan mengelola pembangunan, hingga NTB hari ini sukses menempati rangking ke 32 dari 33 propinsi di Indonesia tentang tingkat IPM (indeks prestasi manusia). Sungguh kontradiktif dengan makna samawa yang berarti langit dan seharusnya berada pada pringkat perestasi yang tertinggi. Sumbawapun sukses memiliki 83.402 Ha lahan kering tak dapat ditanami dan tidak produktif dari hanya 6.643,98 km2 luas seluruh daratan sumbawa. Dalam bidang pariwisata dari 50 obyek wisata secara keseluruhan yang dimiliki kabupaten sumbawa, selain Pulau Moyo dan Pantai Saliper Ate, yang lainnya masih bopeng dan tidak layak dijual, mengingat infrastruktur jalan sebagai akses menuju lokasi sangat tidak layak dikunjungi wisatawan.
Dalam bidang pertambangan, sumbawa yang mendapat julukan pulau yang karam di atas gunung emas, namun kita hanya sekedar mendapatkan cipratan trickel down effect atau cipratan kecil dari banyaknya keuntungan yang di rebut oleh asing. Sedangkan dalam bidang pendidikan di tahun 2007 kemarin pemerintah hanya menyediakan 7% dari total APBD. Sungguh data itu menjadi lirih terdengar di tengah kemewahan simbol Samawa. Semangat etos kerja dan inovasi tinggi yang terselip rapi dalam lipatan makna samawa, sama sekali tidak tercermin dalam prestasi pembangunan, bahkan samawa dalam pengertian sebagai sebuah pulau-pun,,, dengan sejuta potensinya,,, tak terbekas dalam cerminan tingkat angka-angka ekonomi. Berjuta-juta dana di anggarkan,,, beribu-ribu inovasi tercipta,,, beratus-ratus orang disekolahkan,,,, berjuta-juta wacana terdialektika,,,, berpuluh-puluh ahli didatangkan, berpuluh-puluh kota dikunjungi, semuanya hanya menjadi aksesoris berita di koran dan media massa dan akan berakhir di pasar karena korannya hanya akan dihargai sebatas sebagai bungkusan cabe dan bawang penjual di pasar.
Selama masyarakat tana samawa melupakan apa yang menjadi dasar dari segala dasar keterbentukan ke-diri-annya sebagai tau samawa, selama tau samawa melupakan Nafas yang sesungguhnya menjadi ruh kekuatan diri (self ontology) tau samawa, maka tidak akan ada pencerahan yang akan landas di tana samawa tercinta ini. Bukankah menjadi pantas data-data sektor pendidikan, pertanian, pariwisata dan pertambangan kita hari ini yang melemah, karena tiada lagi yang tersisa dari ke-tau-an ke-samawa-an kita, kepahaman kita atas falsafah samawa dan iyak tau samawa. Sadar akan ke-diri-an kita yang tak sempat kita sadari, dihempaskan oleh kejamnya realitas sejarah pembodohan berabad-abad. Peniduran kesadaran dibawah tebalnya lapis-lapis selimut ideology ketidaksadaran.
Belum sempat nafas ini hadir menyatakan kesadaran dirinya di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern, kita sudah dibuat lupa, darimana nafas ini kita tarik dan di titik mana harus kita lepaskan. Nafas yang sesungguhnya menjadi ruh kekuatan diri (self ontology), kembali diasingkan di dalam black hool kelabunya sejarah 32 tahun orde baru, setelah entah kemana ke-diri-an ini dibuang dan diasingkan selama tiga setengah abad. Semuanya telah habis, tiada lagi yang tersisa dari ke-diri-an ini. Tiada lagi yang memahami dasar apa, yang menjadi alasan kenapa tenggorokan ini masih saja mampu melonggarkan tiap-tiap tarian nafas yang berhembus tak jelas dari mana dan hendak dikemanakan. Kita tak sempat dibuat mengenal tujuh bayangan diri, apalagi untuk mampu mengorbitnya secara sentripetal hingga ke pusat inti pusaran diri, tempat dimana kita seharusnya menemukan diri dan ke-diri-an kita yang hakiki, fana dalam Aku Nubuah hingga lebur hancur hilang dalam Baqo’. Gerak nafas asing tanpa orbit ini justru semakin sentripugal dari titik mutiara rahasia tersimpan, titik tempat di mana dari situlah seharusnya nafas ditarik dan dilepaskan menjadi nafas kehidupan, semangat bekerja, watak dan prilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hingga kita hanya dihadapkan dan dipaksakan untuk menerima tanpa mampu berbuat apa-apa pada realitas masyarakat kita tau samawa hari ini yang complicated. Bukan dalam terminology pantheisme, tetapi kita meyakini bahwa alam ini mempunyai ruh. Mereka pun bernafas dalam gerak dan tarian yang berbeda untuk memuja Sang Penciptanya.
Di sinilah “Iyak Samawa” hadir untuk tu tumpan penarik iyak samawa (alam dan dialektika sejarah, pengetahuan dan realitasnya) tu satepat panarik iyak diri (sejarah, pengetahuan dan realitas diri), tu selepas barema ke palepas iyak samawa pang katokal ke irama sopo’. Semangat Confucius telah menjadi iyak orang-orang Cina dan Jepang, dari iyak yang sama, semua masyarakatnya berlomba-lomba menari mengolahnya dalam satu hembusan karakter iyak yang begitu kuat dan kesatria (Baca: Shogun; Kehormatan, Kesetiaan, Kewibawaan Dan Cinta), menjadi nafas dalam membangun dan berkarya, hingga bangsa-nya pun menjadi kokoh, tegar dan berkarakter. Biarlah kesadaran tak berdaya ini merangkak, tapi setidaknya ini lah “Iyak Samawa” yang dalam proses menjadi dan terus menjadi, mencari dan menemukan ritme tarian nafas tau samawa lewat penelusuran dan pelurusan sejarah dan budaya, dalam kajian-kajian kritis yang sedang dan hendak dimulai. Hingga kita menemukan inti dari kesadaran kita. Inilah “Iyak Samawa”, nafas tenang para pemuda yang hendak menangkap cahaya diatas cahaya. tubarema, tu batompok, tutokal pang rasa.
Permasalahan mendasar tentang bagaimana kita menemukan kembali ruh kesumbawaan ini, tidak pernah menjadi bahasan dalam rapat-rapat para penjabat, kalaupun kami generasi muda menuntut pencerahan tentang data-data sejarah ke-Sumbawa-an, sebagaimana Jawa yang begitu lengkap sehingga mereka mempunyai pijakan diri dalam bersikap berdasarkan pengalaman sejarah,,, maka orang-orang yang berkompeten hanya meyikapinya dengan sebatas memberikan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Sebuah muatan lokal tanpa muatan yang bisa membuat kami mampu mengenal ke-diri-an kami sebagai tau samawa, sebagai pemuda dan pemudi samawa, dan sebagai generasi yang akan menggoreskan sejarah kejayaan sumbawa di masa mendatang. Bagimu generasi sejamanku, terlalu naif bagi kita, jika kita hanya menuntut-dan menuntut pada generasi tua, biarlah mereka hidup pada generasi dan semangat zamannya, kita hanya bisa menghargai sebatas apa yang telah mereka lakukan, semuanya tiada yang sia-sia bagi kita. maju mundurnya sejarah melukiskan tentang tana tercinta ini di masa mereka, semuanya akan menjadi pengalaman dan pelajaran indah bagi kita, dan pantaslah mereka kita sandangkan ucapan terimakasih atas baik dan buruknya.
Bagimu generasi sejamanku,,, sudah saatnya kita yang menuliskan tentang kejayaan tanah samawa tercinta ini, dalam lembaran-lembaran baru kitab sejarah, kitalah yang akan menulis tentang sejarah kita, kitalah yang akan membuat sejarah itu, agar dunia bisa menyaksikan bahwa Samawa menemukan kejayaanya di masa kita. mari kita lakukan perubahan-perubahan kecil itu mulai dari diri kita sendiri, keluarga kita setelah itu barulah kita masyarakat, pemerintah dan seluruh stake-holder yang ada, akan menari bersama membangun samawa, dan memperbaiki sistim. dimana peningkatan produktifitas pertanian, pariwisata dan pertambangan akan mensuport kegiatan pendidikan, dan dari pendidikan kita akan menghasilkan tenaga ahli yang akan mengisi dan membangun sektor pertanian, pariwisata dan pertambangan.
Akhirnya saya tutup dengan sebuah lawas,, Mana si ka rowe cinde, Lamin dadi tali lampak,, Ya rik repa si ling tau,, Mana si ka rowe lutung, Lamin dadi si kopiah Urung ke junyung ling tau, dan yang terakhir Sai to, dua ila, Telu satingi dengan, Ama na ila parana
Poetra Adi Soerjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar